Sebuah Pengingat

Yogyakarta, 31 Juli 2019


Hari ini, jagad Twitter sedang diramaikan oleh sebuah cuitan dari salah satu akun yang memang sudah terkenal kontroversial dari dulu. Saya tidak perlu menyebutkan namanya. Dalam twitnya, si akun ini menyebutkan bahwa ia baru saja membeli sebuah tas seharga 20 juta rupiah. Sayangnya, dalam twit tersebut pula, ia mengejek yang lain dengan kata miskin karena tidak bisa membeli barang yang sama, seperti yang ia beli. Sebuah tindakan yang menurut saya itu patut disayangkan. Namun, perlu diingat bahwa setiap orang berbeda-beda. Mungkin ia memang senang berbuat seperti itu, tidak bisa dipaksakan agar ia harus mengikuti apa yang orang lain inginkan. Biarlah.

Dari sana, saya lantas tersadar bahwa mungkin saja ia melakukan itu karena ia telah berusaha keras, bekerja sangat keras, hingga kemudian bisa membeli barang yang ia inginkan -sebuah tas seharga dua puluh juta. Then, it's good for her. 

Kemudian apa?

Kemudian saya tersadar bahwa setelah membaca twitnya, yang saya butuhkan saat ini adalah sebuah cermin. Betul, cermin. 

Cermin yang menyadarkan bahwa saya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, sehingga saya harus bekerja sangat keras untuk menggapai apa yang saya inginkan.

Cermin yang menyadarkan bahwa saya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, sehingga ketika saya sudah sukses (atau bisa dibilang kaya nanti), saya harus sadar bahwa awal mula saya berada, bagaimana perjuangan yang sudah saya tempuh hingga sukses.

Cermin yang mengatakan bahwa untuk mencapai itu saya sudah kehilangan banyak hal baik materi, fisik, hingga waktu. Saya sudah kehilangan sejumlah uang. Saya sudah kehilangan waktu ketika menunda lulus selama dua tahun tanpa melakukan apapun. Pun saya merelakan kehilangan pekerjaan yang memberikan saya gaji secara permanen tiap bulannya, padahal dengan gaji tersebut saya bisa hidup dengan tenang. Saya merelakan kehilangan waktu untuk kembali membangun diri mulai dari nol. Padahal dengan pekerjaan tersebut saya tidak perlu lagi melamar pekerjaan ke sana ke mari lagi, mengingat mencari pekerjaan itu susah sekali. Jangankan untuk berpindah dari zona nyaman, untuk mencapai zona nyaman (anggap ini sebagai pekerjaan kantoran dengan gaji tetap sehingga tidak ada masalah finansial dan kebutuhan tercukupi setiap bulannya) saja susah.

Pilih teman-teman yang selalu mendukung, jangan lupakan keberadaan mereka. Pilih dan pilih teman-teman untuk masuk ke dalam lingkaran-lingkaran yang mendukung. Bagi mereka yang lain, cukupkan ke dalam lingkaran-lingkaran luar. 

Di sisi lain, saya membaca beberapa twit yang juga menyadarkan saya tentang hal lain. Pertama, dari si mbok Venustweet, yang mengingatkan agar saya tidak perlu menyombongkan diri apalagi mengatakan orang lain dengan sebutan miskin, hanya karena mereka tidak sesuai dengan standar yang saya inginkan.

Kedua, dari mbak Fatima Alkaff, yang menyadarkan bahwa sejatinya kita, manusia ini tidak ada apa-apanya di dunia ini. Bayangkan bahwa bumi yang kita pijak ini hanyalah sepersekian saja dari luasnya dunia ini. Apalagi dengan manusia? Jadi untuk apa menyombongkan diri? Hal ini juga diperkuat dari sebuah gambar yang dikirimkan Bang Toga Nainggolan dalam menanggapi twit mbak Fatima, bahwa kita ini ibarat sepersekian kecilnya dibanding dunia. 

Betul. Saya sangat kecil. Lemah. Satu-satunya yang bisa menolong saya adalah Allah. Hanya Ia yang mampu mengangkat derajat saya nantinya. Dan kepadaNyalah satu-satunya saya meminta pertolongan. Lalu saat sudah bisa berdiri tegak nantinya, semua itu tidak lain karena berkatNya. 

Melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan diri saya kelak asal muasal saya. Hanya berkat bantuanNya saya bisa seperti sekarang. Lalu, buat apa kamu menyombongkan diri, Gallant?

*******
Twit dari si Mbok Venus

Twit dari Mbak Fatima
Tulisan dari Bang Toga Nainggolan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Main ke Klinik Kopi

Cara Posting Foto di Instagram lewat Web

Tutup Komentar di Blogspot